Keberanian Dan ketakutan


1Ditinjau dari segi bahasa, disebutkan dalam Qamus Mu’jamul Wasith dan Al-Lughatul ‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah, pengertian syaja’ah diantaranya adalah:

أَظْهَرَ قُوَّةً وَجُرْأَةً ، شِدَّةَ القَلْبِ عِنْدَ اليَأْسِ ، رَبَاطَةَ الجَأْشِ

“Nampaknya quwwah (kekuatan) dan jur’ah (keberanian, kegagahan, ketekunan); kekuatan hati dalam menghadapi keputusasaan; tenang, sabar, menguasai diri.”

قوّة معنويّة تمكِّن الإنسان من مقاومة المِحَن ، ومجابهة الخَطر أو الألم , وتدفعه إلى العمل بحزم

“Kekuatan jiwa yang mengokohkan seorang manusia dalam melawan al-mihan (cobaan, bencana, musibah, kesengsaraan, kemalangan); serta menghadapi al-khathar (bahaya, resiko, kesulitan) atau kepedihan; juga menggerakkan/mendorong diri kepada suatu amal disertai tekad yang kuat.”

شِدّةُ القَلْبِ في البأْس

“Kekuatan hati dalam menghadapi ketakutan/kengerian terhadap sesuatu.” [1]

Adapun yang dimaksud dengan syaja’ah dalam pembahasan ini adalah keberanian, kekuatan tekad, ketekunan, ketenangan, dan kesabaran seorang muslim, terlebih lagi seorang aktivis dakwah, dalam menetapi kebenaran dan amal shalih yang diridhoi Allah Ta’ala meskipun harus berhadapan dengan cobaan, musibah, kesengsaraan, bahaya, resiko, dan kepedihan.

Syaja’ah dan Istiqamah

Maka hakikatnya, syaja’ah (keberanian) adalah salah satu pembuktian dari sikap istiqomah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya kepada setiap hamba-hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) kepada orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud, 11: 112)

Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqofi radhiallahu anhu dia berkata,

قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Saya bertanya (kepada Rasulullah), ‘Wahai Rasulullah katakan kepada saya tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu’. Beliau menjawab, ‘Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian beristiqomah-lah’”. (HR. Muslim)

Contoh nyata syaja’ah ditunjukkan oleh orang-orang beriman sebagaimana diceritakan di dalam surat Al-Buruuj yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya. Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan Fir’aun.

Syaja’ah Mengokohkan Izzah

Antonim dari as-syaja’ah adalah al-jubn (pengecut). Sikap seperti itu adalah sikap tercela sebagaimana ditegaskan di dalam hadits,

عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مَرْوَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ

Dari Abdul ‘Aziz bin Marwan, ia berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut” (HR. Abu Dawud)[2]

Sifat pengecut yang berbahaya terutama adalah pengecut dalam berkomitmen terhadap kebenaran, karena takut celaan manusia; takut kehilangan harta dunia; atau takut terhadap berbagai resiko perjuangan. Jika ini yang terjadi, maka bersiaplah menerima kehinaan!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُوْشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُم الأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا” اَوَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: “بَلْ اِنَّكُمْ يَوْمَئِذٍكَثِيْرُوْنَ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَيْلِ، وَقَدْ نَزَلَ بِكُمُ الْوَهْنُ” قِيْلَ: وَمَا الْوَهْنُ يَارَسُوْلَ اللّهِ ؟ قَالَ: “حُبُّ الدُنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

Tercabutnya sifat syaja’ah dalam diri umat ini akan menyebabkan mereka kehilangan izzah (wibawa, kehormatan, dan kemuliaan). Maka mereka harus selalu berani bersikap dan menghindari sifat imma’ah (ikut-ikutan), apalagi jika didasari rasa takut di dalam menegakkan kebenaran.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلاَ تَظْلِمُوا ».

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan, yang berkata: ‘Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi tempatkanlah diri kalian! Jika orang melakukan kebaikan maka kamu pun melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka (tinggalkan sikap buruk mereka) jangan kamu berbuat zalim.” (HR. Tirmidzi).

Maka peganglah kebenaran itu dengan penuh keberanian.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita do’a untuk berlindung dari sifat pengecut dan lemah,

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ ، وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ ، وَالْكَسَلِ ، وَالْبُخْلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَفَضَحِ الدَّيْنِ ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan, kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang dan penindasan oleh orang-orang” (HR. At Tirmidzi).

Da’aimus Syaja’ah (Benteng-benteng Keberanian)

Pertama, al-imanu bil ghaib (Iman kepada yang ghaib).

Yakni yakin terhadap pertolongan Allah Ta’ala,

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal.” (QS. Ali Imran, 3: 160)

Yakin pula terhadap segala ketentuan Allah Ta’ala,

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am, 6: 17)

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid, 57: 22)

Keyakinan seperti ini menanamkan keberanian dalam diri seorang muslim. Keberanian karena iman dan bertawakkal kepada-Nya. Sebagaimana pengalaman nyata seorang aktivis dakwah tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo berkata, “Mana Tuhanmu, apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan? Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping.” Aktivis dakwah itu menjawab, “Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati.” Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah Ta’ala.

Kedua, al-mujahadatu ‘alal khauf (menaklukkan rasa takut).

Rasa takut pada dasarnya adalah sesuatu yang manusiawi (thabi’i). Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah Ta’ala. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’i-nya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam mengarungi perjuangan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya. Mereka menyadari bahwa sikap mujahadah—upaya perlawanan terhadap rasa takut—adalah bagian dari pembuktian kesungguhan dalam taat dan keimanan.

Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 216)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 200)

Ketiga, kesadaran terhadap pentingnya tauritsul khairiyyah (pewarisan kebaikan).

Jika menginginkan generasi penerus kita menjadi generasi pemberani, maka wariskanlah sifat berani itu kepada mereka dengan cara memberikan keteladanan. Abul Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah, kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula.

Keempat, as-shabru ‘ala at-tha’ah (bersabar dalam ketaatan).

Kokohnya syaja’ah ditopang oleh kesabaran. Tanpa kesabaran, syaja’ah hanya akan menjadi luapan emosi semata. Harus disadari, manakala syaja’ah ditegakkan, maka di hadapan kita pasti akan segera muncul tantangan, ujian, dan cobaan. Oleh karena itu mantapkanlah kesabaran kita: dalam berjuang, dalam menghadapi ujian dan godaan, dalam beribadah dan bergaul di tengah-tengah umat.

Sungguh, tantangan kita belumlah seberapa dibanding generasi terdahulu yang bersabar dalam agamanya. Hadits dari Khabab, ia berkata:

أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ مُتَوَسِّدًا بُرْدَةً لَهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَنَا وَاسْتَنْصِرْهُ قَالَ فَاحْمَرَّ لَوْنُهُ أَوْ تَغَيَّرَ فَقَالَ لَقَدْ كَانَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ حُفْرَةٌ وَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ مَا يَصْرِفُهُ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ عَظْمٍ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ عَنْ دِينِهِ وَلَيُتِمَّنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مَا بَيْنَ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخْشَى إِلَّا اللَّهَ تَعَالَى وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَعْجَلُونَ

“Kami mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berada di dekat ka’bah dengan selimut musim dinginnya, kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah untuk kami dan mintalah tolong padanya!’ Khabab berkata, ‘Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah merah. Beliau lalu bersabda: ‘Sungguh telah berlalu pada orang-orang sebelum kalian seorang yang digalikan lubang untuknya, lalu diletakkan gergaji di atas kepalanya hingga membelahnya, namun hal itu tidak merubah keyakinannya. Ada yang disisir dengan sisir besi panas hingga terkoyak dagingnya, namun itu tidak mengubah dari agamanya. Dan sungguh, benar-benar Allah Tabaaraka Wa Ta’ala akan menyempunakan urusan (agama) ini hingga ada seorang pengendara berjalan dari Shan’a menuju Hadarmaut dalam keadaan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau kawatir kambingnya akan dimakan serigala. Akan tetapi kalian terburu-buru.” (HR. Ahmad)

Kelima, keyakinan terhadap al-ajru minallah (pahala dari Allah Ta’ala).

Mengharap pahala dan keridhoan Allah Ta’ala membuat seorang muslim menjadi pemberani, dan terus memompa semangat dan komitmennya dalam beramal dan berjuang.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’”. (QS. Al-Fushilat, 41: 30)

Hal ini tergambar dalam hadits yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadraknya (no. 2421) dari hadits Basyir bin al-Khashashiyyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbai’at masuk Islam. Maka beliau mensyaratkan kepadaku,

تَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَتُصَلِّي الْخَمْسَ ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

‘Engkau bersaksi tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.’

Dia melanjutkan, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; Yaitu zakat karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Sedangkan jihad, orang-orang yakin bahwa yang lari (ketika perang) maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggenggam tangannya lalu menggerak-gerakkannya. Lalu bersabda,

لَا صَدَقَةَ وَلَا جِهَادَ فَبِمَ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟

‘Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?’

Basyir berkata, ‘Lalu aku berkata kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, aku berbaiat kepadamu, maka baitlah aku atas semua itu.’” (Imam al-Hakim berkata: Hadits shahih. Al-Dzahabi menyepakatinya).

Perwujudan Sikap As-Syaja’ah

Perwujudan sikap asy syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam konteks perjuangan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya:

Pertama, quwwatul ihtimal (memiliki daya tahan yang besar).

Seseorang dapat dikatakan benar-benar memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, bahaya, dan mungkin saja penyiksaan, karena ia berada di jalan Allah Ta’ala.

Kisah perjuangan para nabi dan para sahabatnya di Makkah menggambarkan hal ini. Perhatikanlah bagaimana mereka terus bertahan dalam suasana tekanan yang luar biasa dari kaum Quraisy. Hingga sebagian mereka gugur syahid—seperti Sumayyah dan Yasir, sebagiannya lagi mengalami penyiksaan—seperti Bilal dan Amr bin Yasir, dan sebagian dari mereka harus rela berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju Habasyah demi mempertahankan iman dan mengembangkan dakwah.

Kedua, as-sharahah fil haq (berterus terang dalam menyampaikan kebenaran)

Abu Dzar radhiyallahu anhu pernah diberi beberapa wejangan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam, diantara isi wejangannya adalah,

قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

“Katakan kebenaran, sekalipun itu pahit” (HR. Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 4737)

Keterus terangan dalam menyampaikan kebenaran adalah indikasi keberanian. Bahkan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jihad yang paling afdhal (utama), dan orang yang dibunuh karenanya disebut sebagai syuhada.

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim lalu ia menyuruhnya (berbuat ma’ruf) dan melarangnya (berbuat munkar), lalu pemimpin itu membunuhnya.” (Hadits Shahih dalam Mustadrak ‘ala shahihain, Imam Al Hakim no. 4884).

Dalam hadits yang lain ditegaskan,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling afdhal adalah berkata benar di hadapan pemimpin zhalim.” (HR. Abu Dawud no. 4344, Ibnu Majah no. 4011).

Tidak sedikit kita melihat orang yang berdusta atau diam karena khawatir akan resiko-resikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat mungkin penguasa itu akan mendapatkan hidayah bila ada yang menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya.

Ustadz Umar Tilmisani pernah menyampaikan surat terbuka kepada presiden Republik Mesir yang disebarluaskan oleh harian asy-Sya’b al-Qahiriyah, tertanggal 14/3/1986, ia berkata: “Wahai paduka Presiden, yang paling penting bagi kami sebagai kaum Muslimin di Mesir adalah menjadi bangsa yang aman, tentram dan tenang di bawah naungan syariat Allah Azza wa Jalla. Karena kemaslahatan umat ini hanya akan tercapai bila aturan Allah direalisasikan di tengah mereka. Saya kira tidak terlalu berlebihan bila saya katakan bahwa sesungguhnya penerapan syariat Allah Ta’ala di bumi Mesir akan menjadi pintu kemenangan bagi seluruh wilayahnya. Dan pada saat itulah sang pengadil dan terdakwa akan merasakan ketenangan, demikian pula yang akan dinikmati oleh penguasa dan rakyatnya.”

Suatu hari dalam acara dialog yang disiarkan secara terbuka, Presiden Anwar Sadat menuduh Jamaah Ikhwan dengan fitnah sektarian, dan melontarkan berbagai tuduhan dusta. Mendengar tuduhan tersebut, Ustadz Umar Tilmisani lalu berdiri mengcounter berbagai tuduhan Sadat dengan ucapannya, “Adalah hal yang lumrah bila ada yang berlaku zalim pada diriku adalah mengadukan pelakunya kepadamu, karena engkau adalah rujukan tertinggi—setelah Allah—bagi orang-orang yang mengadu ketika dianiaya. Kini saya mendapatkan kezaliman itu darimu dan membuatku tidak memiliki cara apa pun selain mengadukanmu kepada Allah Ta’ala.”

Saat mendengar ucapan ustadz Tilmisani, Anwar Sadat pun gemetar ketakutan. Ia lalu memohon maaf kepadanya. Namun dengan tegas dan tetap tenang beliau menjawab: “Sesungguhnya saya tidak mengadukanmu kepada pihak yang zalim, tapi kepada Dzat Yang Maha Adil dan mengetahui segala yang saya ucapkan!”[3]

Ketiga, kitmanu assirri (memegang rahasia)

Kerahasiaan—terlebih lagi dalam konteks perjuangan—adalah sesuatu yang berat dan beresiko tinggi. Terbongkarnya rahasia dapat berakibat fatal. Oleh karena itu kesiapan memegang rahasia menjadi indikasi syaja’ah seorang muslim pejuang.

Di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang dipercaya memegang rahasia tidaklah banyak. Diantaranya adalah Huzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan Shahibus Sirri (pemegang rahasia).

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Khalifah Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka menjawab, “Ada,” Umar turut menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, “Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?”

“Ada seorang,” jawab Hudzaifah.

“Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar.

Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”[4]

Keempat, al ‘itirafu bil khatha’i (mengakui kesalahan).

Mengakui kesalahan adalah ciri pribadi yang berani. Sebaliknya, sikap tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam atau bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”, adalah ciri pribadi yang pengecut.

Mengakui kesalahan memang tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, takut dikucilkan, atau cemas akan pandangan sinis orang lain karena kesalahan yang diperbuat. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia bisa melihat kesalahan diri dan segera memperbaikinya.

Allah Ta’ala memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam ‘alaihis salam ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia akui kesalahan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya.

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Q.S. Al ‘Araf, 7: 23).

Kelima, al-inshafu min ad dzati (bersikap obyektif pada diri sendiri).

Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif.

Orang yang berani akan bersikap obyektif terhadap dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk; kelebihan dan kekurangan. Sikap seperti ini akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain karena ia tahu betul bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi orang lain. Di samping itu ia pun tidak meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak dan berkontribusi secara optimal dengan potensi yang dimilikinya.

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya: “Wahai manusia, aku dipilih sebagai pemimpin kalian, dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, ikutilah aku. Jika berbuat buruk, luruskanlah aku. …..”[5]

Keenam, milku an nafsi ‘inda al ghadhabi (menguasai diri di saat marah)

Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa melakukan itu dipandang sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.

Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah. Sampai-sampai Rasulullah SAW. mengajarkan untuk tidak marah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati disiram dengan air.

Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri sang kader. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para senior dakwah yang menggumankan:

‘Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi yang memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu’. Dan berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Catatan Kaki:

[1] Lihat: https://www.almaany.com dan Kamus Mutarjim v1.2

[2] Ada pula yang menerjemahkan hadits ini sebagai berikut: “Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah kekikiran serta ketamakan, dan sifat penakut serta lemah.“

[3] Umar Tilmisani: Mursyim Am Ketiga IM, Bukan Sekedar Kenangan, Rabbani Press.

[4] Pendekar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ksatria Islam yang Gagah Berani, Asyraf Muhammad al-Wahsy, Gema Insani Press, 2011

[5] Al-Bidayah wa al-nihayah, jilid 6, hal. 305-306. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu.

  • Menyeimbangkan Antara Khauf (Rasa Takut) dan Raja' (Berharap) | Muslim.Or.Id


    Pelajaran TAUHID mengenai hal ini cukup penting diketahui, bahwa dalam kehidupan hamba di dunia ini perlu menggabungkan antara mahabbah (cinta), khauf (rasa takut) dan raja’ (berharap).

    Dalil Mahabbah dalam ibadah yaitu firman Allah:

    وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

    Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 165).

    Dalil Khauf (rasa takut) dalam Ibadah yaitu firman Allah:

    أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

    “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’: 57)

    Dalil Raja’ (berharap) dalam Ibadah yaitu firman Allah,

    فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

    Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan dengan apapun dalam beribadah kepada Rabbnya” (QS. Al-Kahfi: 110).

    Dalam setiap perbuatan dan ibadah seorang hamba harus ada ketiga hal ini. Sebagaimana seseorang dalam urusan dunianya, ada tiga hal ini. Misalnya seorang mahasiswa yang mengikuti ujian, maka ada:

    1. Rasa takut: tidak lulus ujian dan DO
    2. Berharap: lulus ujian dengan nilai baik
    3. Cinta: Cinta dengan jurusan yang ia tempuh dan ilmu yang ia pelajari karena merupakan pilihannya

    Seorang hamba harus menyeimbangkan antara khauf dan raja’ sebagaimana dalam ayat berikut yang menjelaskan seorang hamba berdoa dengan harap dan cemas. Allah berfirman,

    إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

    “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

    Apabila terlalu besar dan mendominasi rasa takut (khauf), maka akan terjerumus dalam akidah khawarij yang putus asa dari rahmat Allah padahal Allah Maha Pengasih.

    Apabila terlalu besar dan mendominasi rasa raja’ (berharap), maka akan terjerumus dalam akidah murji’ah yang menghilangkan rasa takut kepada Allah, hanya menonjolkan ampunan dan rasa harap padahal Allah juga “syadidul iqab” yaitu keras azabnya.

    Karenanya dua hal ini dimisalkan seperti sayap burung, tidak boleh ada yang lebih berat atau rusak sebelah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,

    والعبد يسير إلى الله بين الرجاء والخوف كالجناحين للطائر، يخاف الله ويرجوه

    “Seorang hamba harus beribadah kepada Allah di antara raja’ dan khauf sebagaimana dua sayap burung.”[1]

    Ada beberapa keadaan di mana salah satu dari khauf dan raja’ ini perlu sedikit mendominasi. Misalnya:

    Ketika sakit yang akan mengantarkan kematiannya, maka perbanyak rasa raja’ (berharap) kepada Allah akan pahala ibadah-ibadah yang dulu pernah dilakukan. Apalagi ibadah tersebut adalah ibadah yang disembunyikan, hanya Allah dan ia yang tahu serta benar-benar hanya mengharap wajah Allah saja.

    Hal ini sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mengajarkan kita agar meninggal dalam keadaan berhusnuzhan kepada Allah. Beliau bersabda,

    لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

    “Jangan salah seorang diantara kamu meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah Azza Wa jalla.”[2]

    Berikut penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengenai rincian hal berikut,

    اختلف العلماء هل يُقدم الإنسان الرجاء أو يقدم الخوف على أقوال:

    فقال الإمام أحمد رحمه الله: “ينبغي أن يكون خوفه ورجاؤه واحداً، فلا يغلب الخوف ولا يغلب الرجاء”، قال رحمه الله: “فأيهما غلب هلك صاحبه”، لأنه إن غلب الرجاء وقع الإنسان في الأمن من مكر الله، وإن غلب الخوف وقع في القنوط من رحمة الله. وقال بعض العلماء: “ينبغي تغليب الرجاء عند فعل الطاعة، وتغليب الخوف عند إرادة المعصية”، لأنه إذا فعل الطاعة فقد أتى بموجب حسن الظن، فينبغي أن يغلب الرجاء وهو القبول، وإذا هم بالمعصية أن يغلب الخوف لئلا يقع في المعصية. وقال آخرون: ينبغي للصحيح أن يغلب جانب الخوف، وللمريض أن يغلب جانب الرجاء، لأن الصحيح إذا غلب جانب الخوف تجنب المعصية، والمريض إذا غلب جانب الرجاء لقي الله وهو يحسن الظن به. والذي عندي في هذه المسألة أن هذا يختلف باختلاف الأحوال، وأنه إذا خاف إذا غلب جانب الخوف أن يقنط من رحمة الله وجب عليه أن يرد ويقابل ذلك بجانب الرجاء، وإذا خاف إذا غلب الرجاء أن يأمن مكر الله فليرد ويغلب جانب الخوف، والإنسان في الحقيقة طبيب نفسه إذا كان قلبه حيًّا، أما صاحب القلب الميت الذي لا يعالج قلبه ولا ينظر أحوال قلبه فهذا لا يهمه الأمر.

    Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih didahulukan/didominasikan, apakah rasa harap atau rasa takut kepada Allah, ada beberapa pendapat:

    Imam Ahmad rahimahullah berkata:

    “Hendaknya khauf (rasa takut) dan raja‘ (berharap) itu sama, tidak boleh mendominasi rasa takut dan tidak boleh mendominsasi rasa berharap

    Beliau juga berkata:

    “Apabila salah satu dari keduanya mendominasi, orang tersebut akan binasa”

    Karena ketika rasa berharap kepada Allah lebih besar, seseorang akan merasa aman dari makar (azab) Allah, dan jika rasa takut lebih besar maka ia akan putus asa dari rahmat Allah

    Sebagian ulama mengatakan:

    “Hendaknya rasa berharap lebih mendominasi ketika melakukan ketaatan dan rasa takut lebih mendominasi ketika ingin melakukan maksiat”

    Karena ketika melakukan ketaatan akan menuntut adanya husnuzhan kepada Allah, sehingga hendaknya rasa harap lebih besar yaitu ia mengharapkan amalannya diterima. Adapun dalam maksiat, hendaknya rasa takut lebih besar agar ia tidak terjerumus dalam maksiat

    Sebagian ulama yang lain mengatakan:

    “Hendaknya orang yang sehat lebih dominasi rasa takut, sedangkan orang yang sakit lebih dominasi rasa harap”

    Karena orang yang sehat ketika ia mengedepankan rasa takut maka ia akan terhindar dari maksiat, sedangkan orang yang sakit ketika ia mengedepankan rasa harap maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.

    Menurutku yang tepat dalam masalah ini adalah jawabannya berbeda tergantung keadaannya:

    • Apabila seseorang khawatir ketika rasa takut kepada Allah mendominasi sampai membuat ia putus asa dari rahmat Allah, maka wajib baginya untuk menyeimbangkan rasa takut itu dengan rasa harap kepada Allah
    • Apabila seseorang khawatir ketika rasa berharap kepada Allah mendominasi sampai membuat ia merasa aman dari makar Allah, maka wajib baginya untuk menyeimbangkan rasa harap itu dengan rasa takut kepada Allah

    Seseorang itu pada hakikatnya adalah dokter bagi dirinya sendiri, apabila hatinya sehat. Adapun orang yang hatinya mati, maka ia tidak akan berusaha mengobati hatinya, tidak akan menimbang-nimbang hatinya ada pada kondisi apa sekarang, dan ia tidak akan memperhatikan perkara ini. [3]

    Catatan kaki:

    [1] Sumber: https://www.binbaz.org.sa/noor/11704

    [2] HR. Muslim, 2877.

    [3] Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/100-101


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU HADITS

Faedah Gambar Sandal Nabi Muhammad SAW (MITSAALUNNA’ LISYARIIF)

Kumpulan Hadits Shahih Pilihan